Social Icons

Rabu, 12 Desember 2012

Perjuangan Ibu

Teman-temanku bilang aku bodoh. Guruku bilang aku anak yang tak bisa menerima pelajaran dengan cepat. Dan aku juga merasa begitu. Namun, hanya satu yang selalu memberiku semangat ketika aku hampir jatuh, ketika aku hampir putus asa. Ia adalah IBUku.
Bapak telah putus asa mendidikku. Sekarang dia tidak peduli bagaimana nasibku. Kami bukanlah orang yang tak mampu. Kami keluarga yang sangat sederhana, tidak kaya dan juga tidak miskin. Setiap malam ibu selalu menemaniku belajar. Walaupun terkadang dia tidak sabar mengajariku yang sulit menerima penjelasan darinya. Tapi ia tak pernah putus asa. Dia yang mencarikanku sekolah baru setiap aku tidak naik kelas. Aku memang anak yang bodoh. Kerena kebodohanku, aku tidak naik kelas berkali-kali dan aku juga pindah sekolah telah berkali-kali.
Kali ini, Ibu membawaku ke sebuah sekolah kecil di luar kota Surabaya. Aku diterima dengan baik di sana. Kulihat Ibuku berbincang-bincang dengan salah satu guru di sekolah ini. Ibu sangat gigih dan bersemangat untuk menyekolahkanku. Bagaimana bisa aku membalas jasa-jasanya.
“aku harus semangat! Aku harus sukses!” ucapku tegas namun dengan suara lirih. Ibu menghampiriku dengan langkah-langkah cepat. Aku tersenyum padanya dan dia juga tersenyum padaku.
“Dodi, ini sekolah barumu. Mulai besok kamu bisa belajar di sini.” Ucap Ibu sambil menatap kelas-kelas yang berisi siswa-siswi SMP. Aku mengikuti arah pandangannya. Seharusnya aku sudah menjadi anak SMA. Setelah puas menatap anak-anak yang sedang belajar itu, aku kembali beralih pada Ibu. “suka kan?” tanyanya padaku. Aku hanya membalasnya dengan anggukan. “ya udah, kita pulang dulu. Besok Ibu anterin kamu ke sini.” Aku mengekor di belakang Ibuku. Kutatap tubuhnya yang semakin mengecil. Atau karena aku semakin tinggi? Terkadang aku merasa Ibu selalu menganggapku seperti anak kecil. Selalu menemaniku belajar. Walaupun aku tahu, hal itu dilakukannya karena kebodohanku.
***
Keesokan harinya. Ibu membawa semua barang-barangku ke mobil. Aku bingung melihatnya. Namun, aku tak berani bertanya ketika kulihat Bapak menghampiriku dengan tatap tajam. “ngapain kamu masih berdiri di situ? Cepet bantu Ibumu!” bentaknya padaku.
Aku langsung melaksanakan perintah. Kuangkat semua barang-barangku dari kamar. Begitu selesai, aku langsung masuk mobil dengan seragam SMP melekat di tubuhku. “barang-barangku mau dibawa ke mana, Bu?” tanyaku hati-hati. Ibu menoleh dan hanya menjawabnya dengan senyuman.
Kami kembali datang ke sekolah yang kemaren kukunjungi bersama Ibu. Aku baru tahu kalau sekolah itu mempunyai sebuah nama. Taman Madia. Disinilah aku akan sekolah. Sekarang, dan semoga sampai seterusnya.
Aku menoleh menatap Ibu dan Bapak yang kembali sibuk menurunkan barang-barang dari mobil. Aku kembali bingung. Aku mulai khawatir dengan apa yang dilakukan ke dua orangtuaku. Apa mereka telah putus asa mendidikku? Dan mereka ingin aku pergi dari rumah.
Guru yang kemaren sempat berbincang-bincang dengan Ibuku menghampiriku. Dia mengajakku memasuki sebuah deretan kamar yang sepi. “asramanya masih sepi. Soalnya anak-anak banyak yang sekolah.” jelasnya. Kekhawatiranku semakin memenuhi kepalaku. Asrama? Aku sering mendengar kata asrama dari teman-teman sekolahku yang dulu. Mereka bilang tempatnya ramai dan kotor.
“Dodi.” Seketika aku menoleh. “kamu akan tinggal di sini. Sampai kamu lulus SMP.” Jelas Ibuku. Aku menatapnya tak percaya.
“aku nggak boleh pulang?”
“kamu boleh pulang kalau sudah liburan, Dodi.”
“tapi, Bu…”
“nggak ada tapi-tapian. Kamu harus belajar, jangan cuma bisa nyusahin orangtuamu.” Ucap Bapak tegas dan sedikit membentakku. Aku langsung menunduk patuh. Tak lama setelah itu, Bapak dan Ibu meninggalkanku dengan seorang guru yang menatap kepergian orangtuaku.
***
Malam ini aku belajar dengan teman-temanku. Tidak ada lagi Ibu yang menemaniku. Tidak ada lagi suara Ibu yang menjelaskan tentang pelajaran dan PR-PR yang harus kukerjakan. Kulirik semua teman-teman baruku yang sedang serius belajar.
“nilai matematikamu berapa?”
aku menatap anak laki-laki dengan rambut keriting.
“kamu dapet nilai bagus.”ucapnya pada salah satu temannya. “aku dapet nilai jelek.” Katanya lagi dengan wajah murung. Lalu tiba-tiba dia kembali tersenyum. “nggak apa-apa deh. Dengan nilai ini berarti aku harus berubah. Berubah biar aku belajar lebih giat dan lebih rajin lagi.”
Mendengar kata-katanya. Aku mencoba belajar lebih serius. Dan mencoba membaca pelajaran sejarah. Karena pelajaran yang paling kusukai adalah sejarah.
Keesokan harinya. Aku mencoba menyimak pelajaran yang diberikan oleh guru. Pertama pelajaran matematika. Pelajaran yang paling sulit bagiku. Walaupun sudah kucoba tapi aku tetap kesulitan untuk mencernanya. Kedua pelajaran biologi. Pelahjaran ini juga terasa sulit untuk kucerna. Tapi aku berjanji pada diriku sendiri. Kalau nanti malam aku belajar sungguh-sungguh, aku pasti bisa.
***
Hari berlalu begitu cepat. Bagaikan angin yang baru saja melintas didepanku. Kubuka mataku dengan satu helaan napas. Sudah satu bulan aku berada di asrama Taman Madia. Hari ini aku akan menghadapi ulangan sejarah. Aku sudah belajar hingga larut malam. Dan aku berharap nilaiku akan lebih dari lima puluh. Hal itu sudah cukup bagiku. Karena nilai-nilaiku dulu selalu di bwah lima puluh.
Dan ulangan telah dimulai. Aku mencoba mengerjakan sebisaku. Dan aku bersyukur, soal-soal yang kukerjakan sama dengan yang kupelajari tadi malam. Begitu selesai. Pak Ikhtar langsung menyuruh kami untuk menukar jawaban kami dengan teman yang berada di samping kami. Ternyata ini merupakan system ulangan dan penilaian Pak Ikhtar. Kami disuruh mengoreksi ulangan teman-teman kami. Begitu selesai, aku langsung menghampiri Ari yng mengeroksi ulanganku. “aku dapet berapa, Ar?” tanyaku sedikit antusias. “nilaimu bagus, Dod. Kamu dapet delapan puluh.”
Seketika kurampas kertas ulanganku yang berada dalam genggaman Ari. Kutatap nilaiku lekat-lekat. Aku tak percaya dengan nilai sejarahku. Aku berjanji akan kukabari kabar bagus ini pada Ibuku.
Pulang sekolah aku langsung berlari ke wartel. Begitu tersambung dan terdengar seseorang mengangkat. Aku langsung menyebut nama Ibu tanpa salam. “Ibu!” kataku setengah berteriak. “halo, Dodi.” Seketika aku terdiam. Ternyata Bapak yang mengangkat telepon. “Ibumu sakit. Kamu bisa pulang?” aku tercekat. Ibu sakit? Aku segera meletakkan gagang telepon dan lari meninggalkan wartel. Aku mulai khawatir dan entah kenapa mataku mulai terasa panas. Aku mencoba menenangkan diriku. Ibu cuma sakit Dodi! Batinku. Aku terus berlari mencari angkot. Yang aku pikirkan hanya satu. Hanya Ibu. Dialah sahabat yang selalu menyemangatiku. Menemaniku dalam keterpurukanku. Membantuku menyelesaikan masalah matematika setiap malam.
***
Rumahku sudah berada di depan mata. Aku semakin mengencangkan lariku dan begitu tiba di halaman. Aku langsung menerjang masuk ke dalam rumah lalu berlari ke kamar Ibuku. Namun, tidak ada siapa-siapa di sana. Kasur Ibu tertata rapi seperti tak pernah ditempati. Aku langsung berlari ke belakang mencari Bapak. Namun aku juga tak menemukannya.
Tujuanku kali ini adalah rumah sakit. Aku kembali berlari ke rumah sakit yang dekat dengan rumahku. Setibanya di rumah sakit. Bagaikan orang gila aku mencari Ibu di setiap ruangan. Dan kutemukan Bapak sedang berdiri di ambang pintu, dia tak menyadari kedatanganku. Aku melangkah dengan cepat dan masuk tanpa bersalaman dengan Bapak.
Kutatap wajah Ibu yang terbaring lemah di atas kasur putih rumah sakit. Ibu semakin kurus dan semakin kecil. Kucium tangannya, kugenggam tangannya yang pucat. Aku tidak tahu Ibu menderita penyakit apa. Yang kupikirkan sekarang adalah keselamatan Ibu. “Ibu… aku punya kabar gembira buat Ibu.” Ucapku lirih dan dengan suara bergetar. Walaupun aku tahu Ibu tidak mendengarnya. Aku tetap ingin mengobrol dengannya. “aku dapet nilai di atas lima puluh, Bu. Aku dapet nilai delapan puluh. Aku sudah buktikan ke Ibu kalau semua kerja keras Ibu berhasil. Ibu berhasil ngajarin Dodi setiap malem.” Air mataku mulai mengalir.
“dodi…” kudengar suara Ibu yang lirih. Aku semakin erat menggenggam tangannya.
“ibumu tidak tidur. Dia hanya memejamkan matanya.” Tiba-tiba Bapak berkata. Aku menoleh sekilas padanya lalu kembali beralih pada Ibu. Ibu terus diam tidak mengeluarkan suara lagi. Sementara kekhawatiranku mulai menyusut.
Tiba-tiba genggaman tangan Ibu semakin melemah. Lima belas menit berlalu dan Ibu tetap diam tak bergerak dan juga tak mengeluarkan sepatah katapun. Aku kembali khawatir menatapnya. Aku mencoba merasakan detak jantungnya. Namun tak ada satu detak pun yang keluar. Aku mulai kebingungan. Bapak juga menyadari sesuatu perubahan. Aku berdiri tak tahan menatap wajah Ibu yang telah pergi. Kenapa begitu cepat? Sementara aku masih belum bisa membalasnya.
Aku mulai frustasi. Siapa yang akan mendukungku sekolah kalau bukan Ibu? Siapa yang akan menyemangatiku ketika aku kesusahan dalam belajar? Siapa yang akan memujiku pintar kalau bukan Ibu? Aku kembali mengingat ketika Ibu mengantarkanku sekolah. mencarikanku sekolah baru. Selalu menanyakan PR. Selalu mendengarkan keluh kesahku. Selalu mendengarkan keluh kesah guru tentang aku. Selalu memberiku motivasi. Selalu memarahiku kalau aku malas belajar. Dia adalah Ibu, sahabat sekaligus guruku di rumah. Tapi aku berjanji. Suatu saat nanti aku akan membuktikannya pada Ibu, bahwa semua itu tidak akan sia-sia untukku.
Cerpen Karangan: Ulfa Nurul Hidayah
Facebook: Ulfachan Paul / Ulfa chan ga sukida

Tidak ada komentar:

Posting Komentar