Teman-temanku bilang aku bodoh. Guruku bilang aku anak yang
tak bisa menerima pelajaran dengan cepat. Dan aku juga merasa begitu.
Namun, hanya satu yang selalu memberiku semangat ketika aku hampir
jatuh, ketika aku hampir putus asa. Ia adalah IBUku.
Bapak telah putus asa mendidikku. Sekarang dia tidak peduli
bagaimana nasibku. Kami bukanlah orang yang tak mampu. Kami keluarga
yang sangat sederhana, tidak kaya dan juga tidak miskin. Setiap malam
ibu selalu menemaniku belajar. Walaupun terkadang dia tidak sabar
mengajariku yang sulit menerima penjelasan darinya. Tapi ia tak pernah
putus asa. Dia yang mencarikanku sekolah baru setiap aku tidak naik
kelas. Aku memang anak yang bodoh. Kerena kebodohanku, aku tidak naik
kelas berkali-kali dan aku juga pindah sekolah telah berkali-kali.
Kali ini, Ibu membawaku ke sebuah sekolah kecil di luar kota
Surabaya. Aku diterima dengan baik di sana. Kulihat Ibuku
berbincang-bincang dengan salah satu guru di sekolah ini. Ibu sangat
gigih dan bersemangat untuk menyekolahkanku. Bagaimana bisa aku membalas
jasa-jasanya.
“aku harus semangat! Aku harus sukses!” ucapku tegas namun
dengan suara lirih. Ibu menghampiriku dengan langkah-langkah cepat. Aku
tersenyum padanya dan dia juga tersenyum padaku.
“Dodi, ini sekolah barumu. Mulai besok kamu bisa belajar di
sini.” Ucap Ibu sambil menatap kelas-kelas yang berisi siswa-siswi SMP.
Aku mengikuti arah pandangannya. Seharusnya aku sudah menjadi anak SMA.
Setelah puas menatap anak-anak yang sedang belajar itu, aku kembali
beralih pada Ibu. “suka kan?” tanyanya padaku. Aku hanya membalasnya
dengan anggukan. “ya udah, kita pulang dulu. Besok Ibu anterin kamu ke
sini.” Aku mengekor di belakang Ibuku. Kutatap tubuhnya yang semakin
mengecil. Atau karena aku semakin tinggi? Terkadang aku merasa Ibu
selalu menganggapku seperti anak kecil. Selalu menemaniku belajar.
Walaupun aku tahu, hal itu dilakukannya karena kebodohanku.
***
Keesokan harinya. Ibu membawa semua barang-barangku ke mobil. Aku
bingung melihatnya. Namun, aku tak berani bertanya ketika kulihat Bapak
menghampiriku dengan tatap tajam. “ngapain kamu masih berdiri di situ?
Cepet bantu Ibumu!” bentaknya padaku.
Aku langsung melaksanakan perintah. Kuangkat semua
barang-barangku dari kamar. Begitu selesai, aku langsung masuk mobil
dengan seragam SMP melekat di tubuhku. “barang-barangku mau dibawa ke
mana, Bu?” tanyaku hati-hati. Ibu menoleh dan hanya menjawabnya dengan
senyuman.
Kami kembali datang ke sekolah yang kemaren kukunjungi
bersama Ibu. Aku baru tahu kalau sekolah itu mempunyai sebuah nama.
Taman Madia. Disinilah aku akan sekolah. Sekarang, dan semoga sampai
seterusnya.
Aku menoleh menatap Ibu dan Bapak yang kembali sibuk
menurunkan barang-barang dari mobil. Aku kembali bingung. Aku mulai
khawatir dengan apa yang dilakukan ke dua orangtuaku. Apa mereka telah
putus asa mendidikku? Dan mereka ingin aku pergi dari rumah.
Guru yang kemaren sempat berbincang-bincang dengan Ibuku
menghampiriku. Dia mengajakku memasuki sebuah deretan kamar yang sepi.
“asramanya masih sepi. Soalnya anak-anak banyak yang sekolah.” jelasnya.
Kekhawatiranku semakin memenuhi kepalaku. Asrama? Aku sering mendengar
kata asrama dari teman-teman sekolahku yang dulu. Mereka bilang
tempatnya ramai dan kotor.
“Dodi.” Seketika aku menoleh. “kamu akan tinggal di sini.
Sampai kamu lulus SMP.” Jelas Ibuku. Aku menatapnya tak percaya.
“aku nggak boleh pulang?”
“kamu boleh pulang kalau sudah liburan, Dodi.”
“tapi, Bu…”
“nggak ada tapi-tapian. Kamu harus belajar, jangan cuma bisa nyusahin
orangtuamu.” Ucap Bapak tegas dan sedikit membentakku. Aku langsung
menunduk patuh. Tak lama setelah itu, Bapak dan Ibu meninggalkanku
dengan seorang guru yang menatap kepergian orangtuaku.
***
Malam ini aku belajar dengan teman-temanku. Tidak ada lagi Ibu yang
menemaniku. Tidak ada lagi suara Ibu yang menjelaskan tentang pelajaran
dan PR-PR yang harus kukerjakan. Kulirik semua teman-teman baruku yang
sedang serius belajar.
“nilai matematikamu berapa?”
aku menatap anak laki-laki dengan rambut keriting.
“kamu dapet nilai bagus.”ucapnya pada salah satu temannya. “aku dapet
nilai jelek.” Katanya lagi dengan wajah murung. Lalu tiba-tiba dia
kembali tersenyum. “nggak apa-apa deh. Dengan nilai ini berarti aku
harus berubah. Berubah biar aku belajar lebih giat dan lebih rajin
lagi.”
Mendengar kata-katanya. Aku mencoba belajar lebih serius. Dan
mencoba membaca pelajaran sejarah. Karena pelajaran yang paling kusukai
adalah sejarah.
Keesokan harinya. Aku mencoba menyimak pelajaran yang
diberikan oleh guru. Pertama pelajaran matematika. Pelajaran yang paling
sulit bagiku. Walaupun sudah kucoba tapi aku tetap kesulitan untuk
mencernanya. Kedua pelajaran biologi. Pelahjaran ini juga terasa sulit
untuk kucerna. Tapi aku berjanji pada diriku sendiri. Kalau nanti malam
aku belajar sungguh-sungguh, aku pasti bisa.
***
Hari berlalu begitu cepat. Bagaikan angin yang baru saja melintas
didepanku. Kubuka mataku dengan satu helaan napas. Sudah satu bulan aku
berada di asrama Taman Madia. Hari ini aku akan menghadapi ulangan
sejarah. Aku sudah belajar hingga larut malam. Dan aku berharap nilaiku
akan lebih dari lima puluh. Hal itu sudah cukup bagiku. Karena
nilai-nilaiku dulu selalu di bwah lima puluh.
Dan ulangan telah dimulai. Aku mencoba mengerjakan sebisaku.
Dan aku bersyukur, soal-soal yang kukerjakan sama dengan yang kupelajari
tadi malam. Begitu selesai. Pak Ikhtar langsung menyuruh kami untuk
menukar jawaban kami dengan teman yang berada di samping kami. Ternyata
ini merupakan system ulangan dan penilaian Pak Ikhtar. Kami disuruh
mengoreksi ulangan teman-teman kami. Begitu selesai, aku langsung
menghampiri Ari yng mengeroksi ulanganku. “aku dapet berapa, Ar?”
tanyaku sedikit antusias. “nilaimu bagus, Dod. Kamu dapet delapan
puluh.”
Seketika kurampas kertas ulanganku yang berada dalam
genggaman Ari. Kutatap nilaiku lekat-lekat. Aku tak percaya dengan nilai
sejarahku. Aku berjanji akan kukabari kabar bagus ini pada Ibuku.
Pulang sekolah aku langsung berlari ke wartel. Begitu
tersambung dan terdengar seseorang mengangkat. Aku langsung menyebut
nama Ibu tanpa salam. “Ibu!” kataku setengah berteriak. “halo, Dodi.”
Seketika aku terdiam. Ternyata Bapak yang mengangkat telepon. “Ibumu
sakit. Kamu bisa pulang?” aku tercekat. Ibu sakit? Aku segera meletakkan
gagang telepon dan lari meninggalkan wartel. Aku mulai khawatir dan
entah kenapa mataku mulai terasa panas. Aku mencoba menenangkan diriku.
Ibu cuma sakit Dodi! Batinku. Aku terus berlari mencari angkot. Yang aku
pikirkan hanya satu. Hanya Ibu. Dialah sahabat yang selalu
menyemangatiku. Menemaniku dalam keterpurukanku. Membantuku
menyelesaikan masalah matematika setiap malam.
***
Rumahku sudah berada di depan mata. Aku semakin mengencangkan lariku
dan begitu tiba di halaman. Aku langsung menerjang masuk ke dalam rumah
lalu berlari ke kamar Ibuku. Namun, tidak ada siapa-siapa di sana. Kasur
Ibu tertata rapi seperti tak pernah ditempati. Aku langsung berlari ke
belakang mencari Bapak. Namun aku juga tak menemukannya.
Tujuanku kali ini adalah rumah sakit. Aku kembali berlari ke
rumah sakit yang dekat dengan rumahku. Setibanya di rumah sakit.
Bagaikan orang gila aku mencari Ibu di setiap ruangan. Dan kutemukan
Bapak sedang berdiri di ambang pintu, dia tak menyadari kedatanganku.
Aku melangkah dengan cepat dan masuk tanpa bersalaman dengan Bapak.
Kutatap wajah Ibu yang terbaring lemah di atas kasur putih
rumah sakit. Ibu semakin kurus dan semakin kecil. Kucium tangannya,
kugenggam tangannya yang pucat. Aku tidak tahu Ibu menderita penyakit
apa. Yang kupikirkan sekarang adalah keselamatan Ibu. “Ibu… aku punya
kabar gembira buat Ibu.” Ucapku lirih dan dengan suara bergetar.
Walaupun aku tahu Ibu tidak mendengarnya. Aku tetap ingin mengobrol
dengannya. “aku dapet nilai di atas lima puluh, Bu. Aku dapet nilai
delapan puluh. Aku sudah buktikan ke Ibu kalau semua kerja keras Ibu
berhasil. Ibu berhasil ngajarin Dodi setiap malem.” Air mataku mulai
mengalir.
“dodi…” kudengar suara Ibu yang lirih. Aku semakin erat menggenggam tangannya.
“ibumu tidak tidur. Dia hanya memejamkan matanya.” Tiba-tiba Bapak
berkata. Aku menoleh sekilas padanya lalu kembali beralih pada Ibu. Ibu
terus diam tidak mengeluarkan suara lagi. Sementara kekhawatiranku mulai
menyusut.
Tiba-tiba genggaman tangan Ibu semakin melemah. Lima belas
menit berlalu dan Ibu tetap diam tak bergerak dan juga tak mengeluarkan
sepatah katapun. Aku kembali khawatir menatapnya. Aku mencoba merasakan
detak jantungnya. Namun tak ada satu detak pun yang keluar. Aku mulai
kebingungan. Bapak juga menyadari sesuatu perubahan. Aku berdiri tak
tahan menatap wajah Ibu yang telah pergi. Kenapa begitu cepat? Sementara
aku masih belum bisa membalasnya.
Aku mulai frustasi. Siapa yang akan mendukungku sekolah kalau
bukan Ibu? Siapa yang akan menyemangatiku ketika aku kesusahan dalam
belajar? Siapa yang akan memujiku pintar kalau bukan Ibu? Aku kembali
mengingat ketika Ibu mengantarkanku sekolah. mencarikanku sekolah baru.
Selalu menanyakan PR. Selalu mendengarkan keluh kesahku. Selalu
mendengarkan keluh kesah guru tentang aku. Selalu memberiku motivasi.
Selalu memarahiku kalau aku malas belajar. Dia adalah Ibu, sahabat
sekaligus guruku di rumah. Tapi aku berjanji. Suatu saat nanti aku akan
membuktikannya pada Ibu, bahwa semua itu tidak akan sia-sia untukku.
Cerpen Karangan: Ulfa Nurul Hidayah
Facebook: Ulfachan Paul / Ulfa chan ga sukida
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar